Beranda | Artikel
Thibbun Nabawi Mengobati Sakit Dengan Tanah dan Air Ludah
Rabu, 20 Agustus 2014

Terdapat Riwayat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pengobatan dengan tanah dan air ludah, kemudian beliau membaca doa:

بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا، يُشْفَى سَقِيْمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا

Dengan menyebut Nama Allah, (debu) tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizing Robb kami.” (HR. Bukhari).

 

Penjelasan para ulama

Penjelasan para ulama menunjukkan bahwa hadits tersebut adalah makna dzahirnya. Bukan takwil atau atau tidak percaya dengan berkata: “masa’ sih tanah dan air ludah yang kotor, jadi obat luka, mungkin ada takwil yang lain”.

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah menukil perkataan Imam An-Nawawi rahimahullah,

معنى الحديث أنه أخذ من ريق نفسه على إصبعه السبابة ثم وضعها على التراب فعلق به شيء منه ثم مسح به الموضع العليل أو الجريح قائلاً الكلام المذكور في حالة المسح

“Makna Hadits bahwa beliau mengambil air ludah dengan jari telunjuknya kemudian meletakkan (menempelkannya) ke tanah, maka akan ada tanah yang menempel kemudian mengusap tempat yang sakit atau luka sambil mengucapkan doa ketika mengucapkannya.”[1]

Begitu juga penjelasan dari Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi),

هذا الحديث على ظاهره، وهو أن يعمد الراقي إلى بلِّ أصبعه بريق نفسه، ثم يمس بها التراب ، ثم يمسح بأصبعه على محل الوجع قائلاً هذا الدعاء

“Hadits ini bermakna dzahir, yaitu peruqyah (yang mengobati) membasahi jarinya dengan air liur, kemudian mengusap jari tersebut ke tempat yang sakit sambil mengucapkan doa tersebut.”[2]

Tentu saja tanah yang dimaksud adalah tanah yang alami, murni yang bersih bukan buatan atau sudah ada kontaminasi seperti tanah debu di lantai atau keramik.

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan,

ولا يكفي البلاط ولا الفراش، ولا السرير ولا غير ذلك مما ليس بتُراب يَعْلَقُ باليد. والله أعلم

“Tidak boleh dengan debu tanah lantai, tikar atau kasur karena bukanlah tanah yang bisa ditempelkan jari.”[3]

 

 

Kemudian dijelaskan juga bahwa maksud tanah di sini adalah tanah secara umum di mana saja, bukan tanah khusus di  Kota Madinah saja.

وأكثر العلماء على أن هذه الصفة عامة لكل راقٍ ولكل أرض. وذهب بعضهم إلى أن ذلك مخصوص برسول الله وبأرض المدينة . والصحيح هو الأول لعدم المخصص

“Mayoritas ulama berpendapat bahwa air liur di sini bagi siapa saja dan debu tanah di mana saja. Sebagaian berpendapat hal tersebut khusus bagi tanah Madinah saja, akan tetapi yang shahih pendapat pertama yaitu tidak ada kekhususan.”[4]

 

Pendangan secara medis

Kami belum menemukan penelitian ilmiah dalam hal ini, akan tetapi penelitian ilmiah bukan segalanya. Jika memang pengobatan tersebut manjur dan terbukti ampuh pada hampir semua orang, maka penelitian ilmiah yang belum bisa menelitinya karena keterbatasan ilmu peneliti.

Sebagaimana dahulu juga melakukan berbagai macam percobaan dengan pengobatan kemudian berhasil. Maka didalami oleh bebeapa orang yang disebut sebagai thabib. Mereka berdasarkan pengalaman yang teruji dan pengetahuan yang turun menurun.

Dari beberapa sumber Disebutkan beberapa penelitian (kami juga belum menelaah langsung, jika ada harap memberi tahu) bahwa air liur yang dihasilkan oleh manusia mengandung penghilang (penenang) yang kuat terhadap rasa sakit. Beberapa penelitian ilmiah menjelaskan bahwa kelenjar ludah manusia menghasilkan sekitar satu liter air liur per harinya, aliran dan gerakan air liur bisa membasmi kuman-kuman (disinfektan) dan menyimpan mineral penting untuk gigi seperti kalsium, fluorida, fosfat, dan magnesium.

Demikian juga tanah, dari beberapa sumber disebutkan bahwa  tanah bisa menjadi media yang baik bagi air ludah untuk penyembuhan. Wallahu a’lam

 

Kesalahan memahami thibbun nabawi

Setelah mendengar hadits ini dan penjelasan ulama, jangan kita ambil kesimpulan prematur yang berakibat gagal paham. Jangan kita mengeneralisir, semua luka bisa sembuh dengan tanah dan campur air liur.

Misalnya  ada luka besar dan robek, tidak mau dijahit (anti terhadap kedokteran modern),malah ditutup campuran tanah dan air ludah.

Perlu kita ketahui bahwa contoh-contoh pengobatan dalam hadits masih bersidat general. Perlu dirinci lagi dan dijelaskan oleh thabib pada zamannya atau orang yang memiliki ilmu thabib tersebut.

Kita ambil contoh madu dan habbatus sauda, maka ini masih bahannya saja yang disebutkan dalam hadits, perlu tahu cara meraciknya, komposisi, campuran, indikasi dan kontraindikasinya. Ibaratnya baru disebutkan saja bahwa buah merah bermanfaat mengurangi lemak. Akan tetapi ini tentu perlu tahu cara meracik, komposisi dan lain-lainnya.

Begitu juga dengan pengobatan dalam hadits, hanya contoh general saja. Bagaimana cara tahu rinciannya, perlu ilmu thabib dan pengalaman mereka. Atau dengan penelitian ilmiah. Wallahu a’lam

Memang bahan-bahan thibbun nabawi dalam Al-Quran dan Sunnah masih bersifat umum, sehingga perlu penelitian dan pengalaman thabib agar menjadi obat. sebagaimana penjelasan dalam hadits berikut.

 

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ

 “Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuh beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”[5]

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum, akan tetapi beliau tidak meraciknya sendiri tetapi meminta sahabat Sa’ad radhiallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kalidah sebagai seorang tabib. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tahu ramuan obat secara global saja dan Al-Harits bin Kalidah sebagai tabib mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

 “Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[6]

 

Thibbun nabawi juga butuh keyakinan dan keimanan ketika berobat dengannya

thibbun nabawi adalah ibarat pedang yang tajam, hanya saja tangan yang memegang pedang tersebut juga harus kuat dan terlatih. Demikianlah jika kita berobat dengan thibbun nabawi, ada unsur keimanan dan keyakinan orang yang mengobati serta orang yang diobati tidak semata-mata sebab-akibat saja.

Bisa kita lihat dalam kisah sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang meruqyah orang yang terkena gigitan racun kalajengking dengan hanya membaca Al-Fatihah saja. Maka orang tersebut langsung sembuh. Sebagaimana dalam hadits

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para  sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyahkarena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al Fatihah. pembesar tersebutpun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al Fatihah adalah ruqyah?” Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.”[7]

Jika ada orang yang terkena penyakit yang sama disengat kalajengking atau yang lebih ringan misalnya disengat tawon, kemudian ada yang membacakan Al-fatihah ternyata tidak sembuh. Maka jangan salahkan Al-Fatihah jika tidak sembuh tetapi salahkan tangan yang tidak mahir serta kuat memegang pedang yang tajam. Jika iman, amal dan tawakkal sebaik Abu Sa’id Al-Khudri maka kita bisa berharap penyakit tersebut sembuh.

Begitu juga dengan Air zam-zam yang didalam hadits adalah sesuai dengan niat orang yang meminumnya baik berupa kesembuhan, kepintaran dan pemenuhan hajat.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ

“Air zamzam itu sesuai dengan apa yang diniatkan peminumnya”.[8]

Tabi’in Ahli tafsir, Mujaahid rahimahullah berkata,

ماء زمزم لما شرب له، إن شربته تريد شفاء شفاك الله، وإن شربته لظمأ أرواك الله، وإن شربته لجوع أشبعك الله، هي هَزْمة جبريل وسُقيا الله إسماعيل.

“Air zamzam sesuai dengan apa yang diniatkan peminumnya. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah akan menyembuhkanmu. Apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan memuaskanmu. Dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan mengenyangkanmu. Ia adalah usaha Jibril dan pemberian (air minum) Allah kepada Isma’il”.[9]

Ibnul-Qayyim rahimahullah telah membuktikan mujarrabnya air zam-zam, beliau berkata,

وقد جرّبت أنا وغيري من الاستشفاء بماء زمزم أمورا عجيبة، واستشفيت به من عدة أمراض، فبرأت بإذن الله

“Sesungguhnya aku telah mencobanya, begitu juga orang lain, berobat dengan air zamzam adalah  hal yang menakjubkan. Dan aku sembuh dari berbagai macam penyakit dengan ijin Allah Ta’ala[10].

Jika ada orang di zaman ini sakit, kemudian minum air zam-zam dan ternyata tidak sembuh-sembuh walaupun sudah banyak dan lama meminumnya. Maka jangan salahkan Air zam-zam.

 

@Perpustakaan FK UGM, Yogyakarta Tercinta

Penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

silahkan like fanspage FB dan follow twitter

Add Pin BB www.muslimafiyah.com kedua 7C9E0EC3, Grup telegram Putra (+6289685112245), putri (+6281938562452)

 

 

[1] Fathul Baari 10/208, Darul ma’rifah, Beirut, 1379 H, syamilah

[2] Fatwa Al-Lajnah no. 19304

[3] Sumber: http://ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-2671-2953.html

[4] Fatwa Al-Lajnah no. 19304

[5]  HR. Abu Dawud no.2072

[6]  Fathul Baari  10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah

[7]  HR. Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201

[8]HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1018 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil fii Takhriiji Ahaadiitsi Manaaris-Sabiil, 4/320

[9]  HR. ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/118

[10] Zaadul-Ma’ad 4/393.


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/thibbun-nabawi-mengobati-sakit-dengan-tanah-dan-air-ludah.html